IN THE NAME OF LOVE

Triawan Negara (Roy Marten) dan Satrio Hidayat (Cok Simabara) adalah 2 pengusaha sukses yang saling bermusuhan. Perseteruan mereka sudah dikenal oleh pblik secara luas. Triawan menikahi Citra (Christine Hakim) dan memiliki 4 orang anak, Riyanti (Luna Maya), Pandji (Yama Crlos), Banyu (Nino Fernadez), Saskia (Acha Septriasa) dan Dirga (Panji Rahadi). Sedangkan Satrio menikahi Kartika (Tuti Kirana) dan memiliki 3 orang anak laki-laki: Aryan (Lukman Sardi), Adit (Tengku Firmansyah) dan Abi (Vino Bastian).

Permusuhan 2 keluarga tersebut diturunkan ke anak2nya sehingga menjadi abadi. Sampai pada akhrinya Saskia yang merupakan junior Abi ditempat mereka kuliah saling jatuh cinta. Cinta yang nggak mungkin dipersatukan mengingat latar belakang keluarga mereka. Ketika Dirga, adik Saskia, memergoki mereka berdua berpacaran, disinilah konflik dimulai. Kedua keluarga saling buru sehingga korban pun mulai berjatuhan. Keadaan intern kedua keluarga itupun memiliki masalahnya sendiri-sendiri sehingga konflik diantara mereka makin membuat situasi semakin berantakan. Ketika situasi semakin panas, beberapa dari mereka mulai luluh oleh perjuangan Abi dan Saskia terutama Kartika, ibu dari Abi. Mereka berdua pun kabur dari rumah dengan bantuan Kartika dimana tindakan mereka ini semakin banyak memakan korban.

Bagaimanakah akhir kisah mereka ? apa yang sebenarnya menyebabkan kedua kepala keluarga itu saling membenci ? apakah ada hal lain yang mereka tutupi dari anak2 mereka ?

Romeo & Julliete meet The Godfather

Mungkin inilah satu2nya film Indonesia yang dari mulai awal kebangkitannya di pertengahan tahun 2000 yang mampu menampilkan acting yang luar biasa dari para pemain2nya. Baik itu pemeran utamanya maupun pemeran pembantunya. Kita harus buang jauh2 mindset kita tentang kebosenan pecinta film Indonesia dengan seringnya Acha dan Vino Bastian menghiasi layar bioskop di Indonesia. Tapi memang harus di akui, mereka selalu menampilkan acting terbaik mereka di setiap film2nya, termasuk di In The Name Of Love. Banyak adegan nangis ??... memang…. Tapi disitulah inti dari film ini. Christine Hakim, Roy Marten, Cok Simbara nggak usah di bahas lagi soal kemampuan acting mereka, terutama untuk Roy Marten dan Christine Hakim. Mereka bener2 keluarin semua kemampuan dan pengalaman mereka di film ini sehingga kita bisa merasakan hancurnya hidup mereka sebagai orantua ketika mengetahui anak mereka saling jatuh cinta dengan anak dari musuh abadi mereka. Justru yang mencuri perhatian gw adalah Nino Fernandez, Tengku Firmansyah, Luna Maya dan Dicky Wahyudi (serius…. beneran… dicky wahyudi mantan bintang film "esek-esek" itu.. ;p), mereka mampu mengimbangi permainan para senior2nya sehingga kualitas acting mereka terlihat setara dengan yang lainnya. Nino Fernandez walaupun tidak terlalu banyak scene yang melibatkan dia, tetapi kemunculannya selalu mencuri perhatian gw sebagai anak yang berada di posisi netral dan sangat mencintai ibunya. Begitu juga dengan Dicky Wahyudi yang sangat meyakinkan berperan sebagai seorang suami yang selalu berada di "bawah" istrinya (Luna Maya) dan berusaha untuk merebut hati ayah mertuanya (Roy Marten). Mungkin inilah lineup cast terbaik film Indonesia sampai saat ini.

Penyutradaraan Rudi memang nggak banyak berubah. Shoot2 close up dan handheld camera dengan ritme film yang lambat memang sudah menjadi ciri khasnya. Warna2 sephia (Low Key Lighting) menghiasi sepanjang film. Mungkin ini dimaksudkan supaya kita lebih dekat dengan karakter-karakternya. Cuma yang sedikit mengganggu adalah, editing yang masih agak kasar dan gambar yang kadang2 tidak focus (kalo yang ini mungkin bisa jadi proyektor yang dipake di studio4 cilandak21 yang jelek) dan juga plot hole yang merupakan masalah klasik untuk film Indonesia saat ini. Tapi hal ini nggak begitu kerasa karena diimbangi oleh kualitas acting para pemain2nya dan scoring music dari Addie MS yang mengingatkan kita akan film2 Wiem Umboh atau Teguh Karya di era 60 / 70an.

Awal film memang terkesan lambat. Kita diperkenalkan para tokoh2nya dimana setiap karakter keluar, maka akan muncul nama dari karakter itu seperti di film Penghianatan G30S/PKI… hehehehe. Tapi ketika ¼ film berjalan, mulailah film ini menemukan ritmenya kembali. Situasi semakin merembet hingga akhir.

Ending film ini memang dibuat (amat sangat) menggantung dan dimaksudkan akan ada sequel dari film ini secara Rudi memang menyiapkan film ini menjadi Trilogy. Hanya saja mungkin untuk waktu yang cukup lama secara Roy Marten sudah divonis 3 tahun penjara karena kepemilikan (lagi) narkoba… (what a wasted). Tapi menurut gw, inilah film dengan ending terbaik J

Dengan segala kekurangannya, In The Name Of Love adalah salah satu film terbaik Indonesia hingga saat ini.

Sayang…. Nasib film ini seperti Kala-nya Joko Anwar. Film yang bermutu tapi minim promosi. Sehingga banyak yang orang tidak tahu. Mungkin udah saatnya muncul PH2 yang berani menginvestasikan uangnya untuk film2 bermutu seperti ini.

Contact

email : figata2000@yahoo.com

About

Figata Online © 2008. Template by Dicas Blogger.

TOPO